03.18 | Posted in

Oleh:

Syafaat Rahmat Selamet*

Suatu hari bocah bernama Thomas pulang dari sekolah dengan menangis. Karena hari itu konon ia disuruh pulang dan tidak bolehkembali lagi ke sekolah. Bukan karena dia nakal. Tetapi dia dianggap idiot (bodoh) dan tidak boleh mengikuti pelajaran lagi selamanya. Hati siapa yang tak runtuh bila menghadapi kondisi anaknya demikian. Sang ibu dengan sabar dan penuh kasih sayang membelai anaknya,” Jangan menangis nak, kamu akan tetap belajar bersama ibu. Di sini.” Setelah kejadian itu dengan sabar si ibu membimbing Thomas di rumahnya. Kelak siapa mengira, si anak “idiot” ini justru yang setelah melampaui kegagalan demi kegagalan dia berhasil menemukan lampu pijar. Dialah Thomas Alpa Edison. Yang kini kita bisa menikmati terang lampu karena maha karya penemuannya. Begitulah kasih seorang ibu.

Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa

Kau hanya memberi tak harap kembali

Bagai sang surya menyinari dunia

Demikian salahsatu potongan syair lagu yang suka kami dendangkan ketika di kelas. Itu tempo dulu. Ketika kami kecil dan berada di sekolah tingkat dasar. Saat itu kami tidak mengerti apa makna syair tersebut.

Sepertinya penulis lirik lagu ini sangat tersentuh jiwanya oleh fungsi ibu dalam kehidupannya. Sampai kini penulis tak tahu siapa penulis dan judul syair tersebut. Dan tak mau mempermasalahkannya. Penulis hanya tersentuh jiwa oleh isi lirik lagu ini. Terlebih mengingat ibu yang meskipun usianya lebih senja, kasihnya abadi. Seperti sang surya menyinari dunia.

Sang surya—alias matahari—setiap hari memberikan energi cahayanya menerangi alam buana. Konsisten terus terbit dari timur dan tenggelam di barat. Karena energi cahayanya air menguap ke langit membentuk gumpalan awan. Kemudian menggelayut membentuk titik-titik air jadilah hujan menyuburkan bumi dan tanamanpun tumbuh.

Laksana air sebagai sumber kehidupan. Sang surya adalah sumber energi kehidupan. Menarik direnungi. Tanpa memilah dan memilih siapa obyek yang diteranginya matahari memberikan sinarnya terus sepanjang setiap hari. Sepanjang masa di dunia. Siapa yang tak butuh pancaran sinar matahari? Dalam siklus kehidupan, matarantai kehidupan membutuhkan energi. Matahari adalah sumber energi yang dahsyat. Energinya diserap oleh dedaunan hijau (baca: klorofil) dalam proses fotosintesis. Keluarlah sarinya berubah buah-buahan (makanan) yang terkandung energi di dalamnya. Dimana ketika makanan dikonsumsi oleh hewan dan manusia maka terseraplah energinya. Bisa direnungkan bila dunia ini tak disinari sang surya. Bagaimana jadinya?

Ibu adalah laksana sang surya. Setiap saat sepanjang masa memberikan pancaran kasih sayangnya. Tanpa memperdulikan anak sulung atau anak bungsu. Tanpa memilah anaknya masih kecil atau sudah besar. Tanpa memilah dan memilih bahkan meski anaknya pun sudah beranak-cucu lagi. Inilah energi cinta tiada taranya di dunia. Energi paling dahsyat di muka bumi.

Sejak terbentuk janin berusia 40 hari dalam kandungan rahimnya, ibu bergembira. Meski perutnya jadi gendut. Dan terasa beban berat. Tak ada rasa malu. Tak menggerutu. Ketika melahirkan rasa sakitnya seolah hilang. Tergantikan rasa bahagia. Melahirkan anak adalah kebahagiaan tiada tara, bukti kesempurnaan seorang perempuan. Kenapa bisa demikian? Karena dalam dirinya ada energi dahsyat. Cinta dan kasih sayang yang tulus.

Luar biasa. Karena energi cinta yang dahsyat pula, begitu melahirkan, ibu segera memberikan ASI. Meskipun terasa sakit saat awal menyusuinya. ibu mengemong kita. Melatih makan dan minum, cara berjalan dan bertutur lisan. Mengajari nama benda yang diindra. Menjadi guru pertama kehidupan. Ibu pula yang mengajari makna kehidupan. Ibu mengirim kita menempuh pendidikan. Mengirim anaknya ke pondok pesantren. Ada pula yang mengirimnya ke sekolah. Kehidupan ibu disibukan mengurus (mendidik) anaknya. Setelah dewasa ibu baru melepaskan anaknya untuk menempuh hidup baru (baca: menikahkannya).

Tanpa ibu entah jadi apa diri kita. Mungkin tak akan sukses memperoleh gelar sarjana tanpa dukungan energi cintanya. Seseorang tak akan sukses menempuh kedudukan terhormat tanpa adanya energi cinta ibu. Jika kita telusuri orang-orang sukses, pasti dibaliknya ada energi pendorongnya. Dan energi terkuat adalah pancaran energi cinta dari ”sinar surya” ibu.

Nah, sekarang ini sudah sejauhmana rasa rumasa (terimakasih) kita kepada ibu? Sudahkah kita sebagai anak manusia laksana bumi yang kering karena menerima pancaran surya merubah air menjadi hujan, sehingga diri kita jadi subur dan menumbuhkan tanaman yang ranum dengan buah-buahan yang bermanfaat bagi kehidupan.

* Angkatan Muda Muhammadiyah Jawa Barat, Pencinta buku dan pemerhati kehidupan.

Category:
��

Comments

3 responses to "IBU DAN “ENERGI” CINTA : "

  1. KAPMEPI Jawa Timur On 29 Mei 2009 pukul 18.28

    Mantap isinya

    Salam,
    Anjaya

     
  2. Unknown On 27 Februari 2016 pukul 02.52

    Sajikan dong info2 yang up to date biar ada penyegaran.wslm.

     
  3. Unknown On 27 Februari 2016 pukul 02.57

    Sajikan dong info2 yang up to date biar ada penyegaran.wslm.