03.21 | Posted in

Syafaat R Selamet*

Guru sebutan yang sederhana. Terkesan sebagai orang yang mengajar. Umumnya guru dimakna pengajar di tingkatan sekolah dasar sampai sekolah menengah. Inilah penyempitan istilah guru masa kini. Tetapi di masa lalu, istilah guru bukan sekedar dalam makna seperti itu. Karena itu di masa tempo doeloe, perguruan itu bisa mencakup di level bawah (dasar) menengah hingga atas. Lembaga pendidikan di tingkat dasar dan menengah kemudian menjadi lebih populer dengan sebutan sekolah, untuk pendidikan ”umum”. Atau Madrasah untuk pendidikan terpadu (materi agama dan ”umum”). Justru istilah perguruan dipakai kemudian di tingkatan tinggi, sehingga disebut Perguruan Tinggi, bagi sekolah tinggi, institut ataupun universitas.

Sepertinya kita perlu menelaah lagi makna guru. Sayang, setelah dicari-cari istilah guru, tak ditemukan asal-usulnya. Apakah Melayu, Jawa, Sunda atau serapan dari Arab ataukah Sansekerta? Hanya ditemukan sumber lisan dari mulut kemulut alias bahasa rakyat. Guru, secara istilah kirata (dikira-kira tapi nyata) adalah orang yang pantas di gugu (ditaati) dan ditiru.

Meskipun sekedar kirata penulis justru tertarik merenungi istilah guru. Terasa ada kesederhanaan bahasa. Guru (orang yang pantas digugu dan ditiru) memiliki kedalaman makna filosofis. Menunjukan kepada karakter sang pendidik yang memiliki kekuatan keteladanan.

Menarik dicermati, sepertinya keteladanan adalah menjadi barangyang langka sekarang ini. Buktinya fenomena dunia pendidikan kini. Tak sedikit siswa yang tak berperilaku etis atau beradab pada gurunya. Etika pencari ilmu terhadap guru tergerus. Mungkin dinamika modernisasi memberikan dampak negatip tanpa terasa. Dimana relasi murid-guru menjadi bersifat formal. Tak lagi relasi pola asuh seperti orangtua terhadap anaknya dan sebaliknya. Maka kecerdasan yang terbangun pun hanya kecerdasan otak (IQ). Kecerdasan emosi (EQ) dan spiritual (SQ) terabaikan.

Namun tak fair jika melemparkan kesalahan bahwa anak didik tak ber-etika. Karena pengajar pun tak sedikit yang belum memberikan keteladanan pada siswanya. Padahal kesuksesan dunia pendidikan ditentukan banyak fihak. Salahsatunya pengajar (guru), siswa, relasi guru-siswa, kultur pendidikan dilingkungannya, orangtua mereka.

Jangan lupa di era modern yang canggih ini, produk teknologi telah menjadi sarana secara tak langsung bagi dampak negatip terhadap pemikiran dan perilaku anak. Meskipun secara tak langsung dan lembut menyelinap, tetapi justru karena tak langsung itulah menjadi ”ancaman” terselubung yang dampaknya besar bagaikan ”bom waktu” bagi orangtua dan pendidik.

Dengan demikian tampilnya sosok guru—figur pengajar yang layak digugu dan ditiru-- sangat urgen sekarang ini. Guru yang bukan hadir secara formal di sekolah atau lembaga pendidikan. Tetapi di dalam kehidupan di rumah pun, orangtuanya harus tampil menjadi guru—orangtua yang pantas digugu dan ditiru. Begitupun dalam pergaulan atau teman permainan anak-anak memerlukan sosok orang dewasa yang berkarakter guru—layak pula digugu dan ditiru. Ini semua bisa memperkuat jiwa dan pemikiran anak di tengah ”guru” liar produk kecanggihan teknologi; yakni mungkin tayangan-tayangan cerita di siaran televisi ataupun yang ditemukan di cyber-media (internet).

Model guru di negeri kita sepertinya patut kita bercermin kembali pada Ki Hajar Dewantara yang menggagas Taman Siswa. Dimana pola pendidikan yang diterapkannya menjadikan lembaga pendidikan itu sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa. Dimana siswa didik bisa belajar tanpa sekat bangunan dan berjiwa kreatif.

Model lainnya adalah KH Ahmad Dahlan. Sosok perintis pendidikan terpadu, antara nilai-nilai etika (keislaman) dengan kemajuan modern. Pendidikan yang mensinergikan kekuatan spiritual, intelektual dan jiwa (emosional). Pendidikannya untuk melahirkan kader yang berbudi pekerti, cerdas dan humanis. KH Ahmad Dahlan mendidik dengan karakter keteladanan. Beliau berbicara dengan hati dan amal. Ketika mengajarkan penyantunan sosial, beliau langsung praktekkan dengan mengasuh anak-anak yatim dan faqir miskin. Itu salahsatu kunci keberhasilan KH Ahmad Dahlan sehingga gerakannya diikuti dan orang banyak yang bersimpati. Karena beliau adalah guru—sosok yang pantas digugu dan ditiru.

Bagaimana dengan kita sekarang ini? Sudahkah kita bercermin, lalu bertanya sendiri: apa yang sudah bisa kita perbuat untuk kemajuan pendidikan dan masa depan umat dan bangsa ini? Sudahkah kita menjadi guru, entah itu secara formal atau kultural? Wallahu’alam.

*penulis pemerhati dan pecinta buku

Category:
��

Comments

0 responses to "GURU: ”Sosok yang Digugu dan ditiru”?"